Tentang Sebuah Janji

clock-wideBanyak orang yang bertanya kepadaku, apa bisa sepasang manusia hidup romantis hingga tua nanti? saat hidup untuk dirimu sendiri saja memerlukan papahan orang lain, saat kulitmu tak lagi halus, saat rambutmu tak lagi hitam. apa masih ada celah untuk sebuah keromantisan?

karena itu kutuliskan ini kepadamu,

Wahai Aku yang berusia 40.

Selamat Pagi, Nisa Salsabila. ini aku, kamu 20 tahun yang lalu. Sedang apa kamu? mungkin saat ini kau membaca surat  ini di rumah, bersama suamimu, atau sambil memandangi anak-anakmu. atau mungkin kau membacanya sendirian, dalam tangis duka, atau malah justru bersama seorang pasien yang sedang kau pertahankan nyawanya mati-matian di Rumah Sakit? Aku tidak tahu. Yang jelas aku berharap, siapa pun kau saat ini, kau sedang berada dalam kondisi fisik dan ruhiyah terbaikmu, tidak sakit atau pun terkena amnesia, karena kau tahu? aku sangat berharap banyak dari mu. yaa, setidaknya untuk saat ini.

Nisa, pagi ini aku mengikuti sesi terakhir dari Training Pengembangan Diri yang diberikan oleh gurumu, mentormu, sosok teladanmu, Bang Bachtiar Firdaus. Sesi yang menutup serangkaian sesi selama 20 bulan pembinaanmu di Program Pembinaan SDM Strategis ini sedikit banyak memberikanku gambaran tentangmu. Siapa lagi kalau bukan aku, 20 tahun ke depan.

Nisa, kau yang saat ini mungkin sudah lupa dengan apa yang pernah kau lewati. Oleh karena itu, aku menulis ini untuk mengingatkanmu. Untuk memberitahumu. Bahwa kamu pernah bermimpi, dan dalam mimpi itu, kamu adalah seorang pejuang. Pejuang bagi anakmu, suamimu, keluargamu, bangsa dan agamamu.

Nisa, kalau saja kau masih mengingatku, aku adalah seorang aktivis kampus yang selalu lompat ke sana dan ke mari: menghadiri setiap rapat, berbagi setiap pengalaman, menjalani satu amanah ke amanah lainnya dengan penuh semangat optimisme dan perubahan. Beberapa kesalahan kau lakukan: salah menentukan prioritas, manajemen waktu yang buruk, manajemen emosi yang jauh dari sempurna. Namun kau telah melewati itu. Dan kau tahu? saat itu yang terpenting bagimu adalah bagaimana kau bisa belajar sebanyak-banyaknya. Memenuhi semua rasa keingintahuanmu akan dunia, dan kemudian mengikuti kata hati untuk melakukan apa yang menurutmu harus dan mampu kamu lakukan.

Nisa, dalam setiap episode hidupmu, tak pernah ada satu pun episode tanpa air mata. Perjuangan sudah menjadi nafasmu, keringat dan air mata sudah menjadi nadimu. Kamu, yang awalnya memiliki kehidupan yang terlalu sempurna, yang memiliki segala hal yang mungkin harus diperjuangkan oleh orang lain lebih dari pada apa yang pernah kamu lakukan, justru memilih jalan ini. Jalan yang sukar dan penuh liku. Jalan yang kau tahu, selamanya, sampai kau mati, tak akan pernah mudah. Tak akan pernah menjanjikanmu kehidupan yang sempurna dan tanpa risiko. Ya, kamu yang telah memilih untuk menghibahkan dirimu, sepenuhnya untuk bangsa dan negaramu.

Nisa, dengan pilihan itulah hidup pun datang menghampirimu. Dengan segala sukanya, dukanya. Dengan segala cinta dan bencinya. Dengan segala harapan dan kepalsuannya. Dinamika itu datang silih berganti. Namun tahukah kau? Kamu yang saat ini sedang menulis surat ini, selalu mengatakan kepada semua tantangan yang hidup berikan kepadanya, “aku mempunyai Tuhan yang tak pernah tidur.” Jadilah kamu seorang dewasa muda yang selalu percaya. Bahwa semua tempaan, segala keindahan dan keburukan yang datang kepadamu sejatinya adalah anugerah. Anugerah yang akan menjadikanmu seorang manusia yang lebih baik. Entah lebih sabar, lebih bijaksana, lebih bersyukur, atau mungkin, lebih terlatih.

Nisa, mungkin kamu yang sekarang tak akan membayangkan bahwa kamu akan bersuami dia, akan menghabiskan seluruh sisa hidupmu bersama dia. Tapi ketahuilah. Seberapa pun menyesalnya atau bersyukurnya dirimu, aku yakin, kau yang sekarang pasti lebih dewasa dalam menghadapi hidup bersamanya. Karena kau tahu? Dia lah yang sifat-sifatnya telah kau jabarkan dalam doa mu. Ia yang akhlaqnya telah kau pasrahkan dalam sujud-sujud panjangmu. Ia yang kesetiaan dan ketaqwaannya hanya kepada Rabbnya. Bukan kepadamu, kepada kecantikanmu, kepada kepintaranmu, pun kepada apa pun yang ada padamu. Jadi ingatlah. Kau yang dulu mengimpikannya. Kini kau lah yang harus mendampinginya. Sampai maut memisahkanmu dengannya.

Ingat Nisa, saat aku menulis ini, di usiamu yang masih separuh dari usiamu yang sekarang, kamu mungkin pernah bangga akan prestasi-prestasimu. Kau mungkin pernah bangga atas semua capaian dan mimpi yang masih kau perjuangkan. tapi kau harus ingat ini. Bang Bachtiar tadi pagi mengatakan, kau harus sukses mendidik anak-anakmu dulu, baru silakan terjun ke masyarakat yang membutuhkan semua realisasi mimpimu. Jadi hal itu yang saat ini ingin kutanyakan padamu. Bagaimana kabar anak-anakmu sekarang? Apa mereka sudah tumbuh menjadi anak-anak ideologismu? Atau kah mereka tak lebih dari sekadar anak-anak biologismu, yang bahkan tak tahu arti pahitnya perjuangan dan nikmatnya kesabaran?

Nisa, di usiamu saat ini, 40 tahun, seharusnya kau sudah siap untuk total memberikan seluruh pengabdianmu bagi bangsa ini. Seharusnya, anak-anakmu telah mengerti posisi dan peran dari ibu mereka yang tidak akan hanya melulu memanjakan mereka, namun juga akan menjadi sosok ibu bagi peradabannya. Ketahuilah Nisa, mimpi mu bersama rekan-rekanmu di asrama PPSDMS ini sungguh indah:

mewujudkan Indonesia yang lebih baik dan bermartabat.

Ingat itu, Nisa. Kembalikan memorimu tentang hari saat kau menuliskan ini. Saat dimana bagimu dunia tak lebih dari hanya tempatmu untuk menghabiskan diri, tenaga, waktu, harta dan pikiranmu untuk kemaslahatan banyak orang. tanpa berpikir untuk dirimu sendiri. Hanya berlomba mencari tiket surga yang Ia janjikan bagi ummat yang Ia ridhoi..

Nisa, kini saatnya kau menyibukkan dirimu bagi ummat. Kerahkan semua potensimu untuk mewujudkan apa yang dulu pernah kau impikan. Aku tahu, semangatmu saat ini mungkin tak se-muda dulu, saat kau menulis surat ini. Aku tahu, dengan badan yang mungkin sudah tidak bugar lagi, penyakit batu empedu yang mungkin mengancammu, kepikunan, dan segala kekurangan yang tak pernah terbayangkan olehmu sebelumnya, mungkin kau akan memilih untuk tidur saja. Menikmati menyambut suamimu yang pulang setelah bekerja, mengajari anak-anakmu, melihat mereka tumbuh besar dan seterusnya. Tapi ingatlah, kau dulu punya mimpi lebih dari itu! Dan aku ingin kau mengingat itu kembali. Menumbuhkan itu kembali. Hingga tak ada celah bagi semua kekurangan itu untuk menciptakan excuse yang menurutmu membenarkan kepasrahanmu.

Nisa, aku ingin kau tahu. Betapa aku yang saat ini begitu was-was tentang siapa yang saat kau membaca ini menjadi suamimu, ayah bagi anak-anakmu, teman bagi perjuangan beratmu. Betapa aku mendoakan yang terbaiklah yang akan kau dapat, betapa aku berharap ia adalah sesosok malaikat yang tidak hanya menuntutmu untuk menemani harinya, namun juga menjadikanmu seseorang yang melebihi apa yang kamu pikir bisa kamu lakukan. Yang bersamanya kau bisa menata langkahmu, bisa melengkapimu, dan membuatmu jatuh lagi kepadanya, setiap harinya.

Nisa, ingatkah kau? Dulu sekali, saat kau masih SMA, kau pernah bermimpi ia yang akan mengajarkanmu berdansa Waltz, dia yang akan memainkan gitar dan menghiburmu saat kau sedih, ia yang akan memelukmu saat kau hanya merasa ingin untuk menangis. Tapi sekarang, aku tahu yang kau impikan sesungguhnya bukan itu. Kau hanya butuh ia yang mencintaimu dengan tulus. Dengan segala kerendahan hati dan keinginannya untuk mendapatkan ridho Tuhannya. Ia yang akan tetap mencintaimu meski sekarang mungkin perutmu gendut, rambutmu rontok, nafasmu bau, atau kulitmu berkerut. Ia yang tiap pagi akan mendoakan yang terbaik bagimu, ia yang tidak akan pernah mengizinkanmu untuk menangis karenanya. Semoga ia yang kau dapati hari ini menemanimu ya? Aku mendoakan agar kalian selalu bahagia dan romantis hingga saatnya kalian berjodoh lagi di surga Nya yang abadi. Amin. 🙂

Nisa, itu dulu ya surat dariku. Jangan lupa sampaikan salamku untuk suamimu, dan untuk anak-anak yang sudah kuimpikan sejak hari aku menulis ini. Katakan pada suamimu, bahwa dulu kau pernah menulis ini. Atau mungkin kau ingin menyampaikan surat ini untuknya? Terserah padamu.

Ohya, satu lagi. Jika ternyata kamu, Nisa Salsabila yang berusia 40 tahun, sudah tak lagi menghembuskan nafasnya di dunia ini, aku ingin kau tahu, aku harap aku meninggalkan sejarah indah yang akan dunia kenang tentangmu. Dan aku harap, kau yang telah tiada, mendapatkan ampunan atas segala dosamu, dan bisa bertemu dengan semua orang yang kau sayangi di surga Nya.

Terima kasih Nisa Salsabila, maaf aku menyita waktumu untuk membaca surat panjang ini.

Semoga saat kau membaca ini, kau bisa mengatakan kepadaku, “aku tak akan mengecewakanmu, Nisa Salsabila di usia 20 tahun.”

🙂

Leave a comment