Kali ini aku ingin sedikit bercerita. Cerita tentang tangisan pertamaku dalam kehidupan berumah tangga bersamanya. Mungkin bukan benar-benar yang pertama –kalau kalian paham betapa mudahnya aku menitikkan air mata. Tapi setidaknya ini tangisan pertama yang kuingat karena dalamnya kesedihan saat itu.

Ceritanya baju suamiku kelunturan. Ya, kelunturan. Dari kemeja yang tadinya putih bersih menjadi berwana merah muda. Satu baju terwarnai sempurna. Depan belakang atas bawah kanan kiri. Sampai temanku yang melihatnya menyangka kemeja itu memang berwarna merah muda. Hiks. Bahkan bukan hanya bajunya saja, ada beberapa bajuku juga ikut menjadi korban. Tapi baju inilah yang kutangisi. Bukan apa-apa, pasalnya ini adalah kemeja yang dia pakai saat mengucapkan janji itu. Saat Arrasy-Nya bergetar karena ucapan janji sehidup semati yang ia tujukan untukku. Ya, itu adalah kemeja yang ia pakai saat akad nikah kami, 10 Juli yang lalu.

Mungkin bagi sebagian kalian aku berlebihan ya. Nanti dulu, masalahnya tidak sesederhana itu.

Setelah tragedi baju kelunturan itu, aku merenung semalaman dan pada akhirnya menyadari satu hal: ini adalah teguran Allah untukku.

Aku memang terbiasa memakai jasa laundry untuk semua pakaian-pakaianku –kecuali yang membutuhkan penanganan khusus. Sejak boarding school di SMA, aku memang belum terbiasa mencuci-menjemur-menyetrika sendiri. Jujur saja. Karena sejak dulu aku ini tomboy, tidak menyukai pekerjaan rumah, apalagi didukung dengan orangtuaku yang memang tidak mengizinkan aku menyetrika –karena sudah tidak terhitung baju yang kubolongi dengan setrika dan aku pernah hampir membakar rumah dengan setrika. Pada akhirnya mencuci-menjemur-menyetrika menjadi pekerjaan yang hanya kukerjakan dengan frekuensi sangat jarang.

Sampai akhirnya tragedi ini terjadi.

Padahal Allah sudah menjanjikan pahala yang sangat besar bagi istri-istri yang mencucikan pakaian keluarganya. Padahal sudah Allah berikan aku kesehatan dan kemampuan untuk bisa berbakti lebih kepada suami. Padahal kalau mau mengoptimalkan waktu dengan baik, aku pasti bisa mengalokasikan waktu untuk mengerjakan pekerjaan mengurusi pakaian kotor itu. Padahal dan padahal. Intinya aku tidak seharusnya membiarkan peluang pahala yang sangat besar itu hilang begitu saja menjadi pahala mbak-mbak laundry. Haha.

Pelajaran kedua, aku baru menyadari bahwa sebelum me-laundry semua pakaian itu, sempat terjadi pertengkaran kecil di antara kami. Suamiku, karena kami baru membeli beberapa pakaian baru –yang menjadi penyebab lunturan itu, berkata biar dia yang mencuci pakaian yang baru, karena toh paling hanya butuh direndam saja. Tidak perlu dikucek atau disikat susah payah. Tapi aku menolak. Sebenarnya saat itu sama sekali tidak ada niatku untuk membantahnya, namun nyatanya yang terjadi adalah seperti itu. Aku yang sesungguhnya hanya tidak mau dia yang mencucikan bajuku –sementara saat itu aku masih sibuk dengan tugas-tugas koasku, malah jadi melawan dan membantah perkataan suamiku.

Kemudian terjadilah tragedi ini.

Manusia memang tidak boleh berandai-andai tentang kejadian di masa lalu. Namun aku hanya ingin memetik pelajaran dari ini semua, karena mungkin seandainya waktu itu aku tidak melawan perkataan suami dan mematuhinya, kejadian itu tidak akan terjadi.
Baru saat itu aku merasakan tamparan pertama dalam misi perjalanan menjadi istri ini. Bahwa sekarang ridho Allah untukku sudah berpindah tangan kepada ridho suamiku. Aku mungkin tidak tahu apa yang ada di benaknya saat itu, tapi mungkin saja saat itu dia tidak ridho dengan aku tidak menuruti perintahnya. Jadilah teguran Allah ini datang kepadaku.

Malam itu aku terisak. Yang kuingat hanya ucapan istighfar yang terus kuulangi sepanjang malam. Yang kuingat hanya pelukan hangatnya yang terus berkata, “sudah tidak apa-apa, ini bukan salah siapa-siapa.” Sambil sesekali menggodaku, “masa perempuan kuat nangis gara-gara baju?”

ya, mungkin bagimu ini hanya sekadar tentang baju. Tapi bagiku, ini adalah tentang mengikhlaskan peranku, yang sekarang telah menjadi istrimu.

IMG_20160903_080637.jpg

Begini hasil kelunturannya :(((

just-married

What are you thinking of being a Mrs?

It’s definitely a housekeeping, having a child, or cooking, or even doing the laundry.

Well it’s a surely yes, but believe me, when it comes to the reality, it’s all bigger than that. And for all of us, it must be a big change in our life. More than just a change in our routine, or our accounting plan, or our room mate. Being a Mrs is a change in our life. It started with our routine, then in our way of thinking, then in our behavior, and the last, it’ll become the change in our dream.

My previous thinking about marriage is not that big. It’s kind of natural. Like a bud becomes a flower. There’s nothing so special about it. It’ll happen with no wonder. But the fact is, I know now, that this is a natural thing that has a super big potential in it. Potential in what?

First, marriage teaches us about being in commitment. It needs an integrity to prove it. We (I and my spouse, of course) made a promise to love each other, endlessly. That means we still have to love each other in our fight, our debate, our weaknesses, our misbehavior, and all our horrible times. Well I’ll tell you, that is definitely not an easy thing to commit. Even with your truest best friend, you must need someone else and eventually some new friends so that you won’t get bored with each other, right? Yet you can’t look for someone else to replace your spouse once you married him. Like him or not. Boring or not. Happy or sad. This is what I still learn until now, and you can’t prove you can do it until you do it.

Second, I learn so much about myself. This is what I didn’t think about at the first. You know, some of us may say that we have known ourself pretty good. We could mention –if somebody ask our good or bad, such as I’m good at drawing, I’m so bad at waiting, or I’m a fast learner, good at public speaking, bad at time managing, and so on. We may think that we know ourself well. But until the day you get married, you just know that you, in fact, don’t really know your self that good. Trust me.

You start to know that you’re so impatient, that you’re so annoying, that you’re super lazy, or even that you’re good at cooking! Something you’ve never known about yourself before. That is why being a married woman will tell you so many things about yourself that you could improve, or, you are so advised to emmit it. So no doubt, you’re gonna accelerate yourself in becoming a better person you wanna be! (this part will make you very grateful to have somebody who loves you no matter how frustrating weaknesses you found in your self.)

So the third potential that I just know marriage could bring is that we could dream bigger. YES, it’s a lot BIGGER! If you know my self, I’m a big dreamer (with big action too, I hope). But after I got married, my husband just give me so many other way to dream bigger. We talk, we discuss, we let our imagination lead us to realize things that we only keep in our heads before. That is when I realize that you don’t need your spouse to just pay your bills, or pick you up anywhere you go, or warm your body when you’re cold, or be your partner in your friend’s wedding party. You have to look for someone beyond it. Especially if you’re a dreamer, like me, whom the biggest dream is to make this world a better place, find someone who will exceed your power of dreaming! It’s not always about make it a bigger dream, but it can also be the first step you’ll take for your dream to be come true. It’s like you don’t know how to realize it before, but now you know how to start it! Doesn’t that mean a giant leap?

These are just three things of uncountable potentials that marriage could bring to me. Hope I could write you the next part to elaborate more about it. Cheers for your wonderful life!

“Love is less about the destination and more about the beauty of the journey.. make it unforgettable” – Mr. Amari Soul

flower-gardenSebuah puisi yang tidak indah. juga tidak manis. Hanya sebuah pengantar bagi seseorang yang spesial, yang sekarang memasuki fase baru dalam hidupnya, sebagai seorang istri. Sebagai seorang pendamping hidup. Sebagai seorang kekasih. Hanya ingin mengatakan bahwa kami pernah ada di posisinya saat ini, menyayangimu, dan akan selamanya, menyayangimu. 🙂

Amm Intan, maukah kau kubacakan sesuatu tentang dirimu?
Bukan bermaksud merayu, karena aku bukan pujangga lagu
Bukan pula untuk membuatmu tersipu, karena tanpaku pun hari ini kau telah tersipu oleh pria di sampingmu
Aku hanya ingin bercerita, cerita yg selamanya akan mengingatkanku tentangmu

Ada sekuntum bunga, yg diamnya membuat rumput di sekitarnya ikut terdiam juga
Ketika sebelum ia mekar, diserapnya tetes embun yg pertama,
Meski beku dan pahit rasanya
Sebelum ia mekar, diajarinya rumput tentang apa arti kesabaran
Tentang apa arti berproses bersama
Tentang apa arti mengisi dan menghidupi
Karena itu rumput mampu bersenandung riang tak peduli kemarau yg panjang

Saat ia mulai mekar, sang bunga bergurau dengan rumput-rumputnya
Apakah ada di dunia ini yg bisa mencuri bahagianya?
Rumput hanya ikut tersenyum mengikuti tarian kehidupan sang bunga
Mengikuti gerakan bunga ketika angin meniupnya
Aduhai betapa rumput telah tersihir oleh pesonanya

Amm Intan, cerita tentang bunga selalu menceritakan tentangmu
Dandelion yg menyebarkan kebahagiaan bersama angin yg meniupnya
Lili yg membawa kedamaian dengan kehadirannya
Tulip yg selalu membuat semua orang menanti kehadirannya
Matahari yg akan menarik siapa pun yg memandangnya
Mawar yg indah dipandang namun tak semua orang mampu meraihnya

Kamu adalah cerita tentang bunga
Cerita tentang bunga yg tak pernah layu, meski kemarau menahun lamanya
Meski kumbang menyakiti putiknya
Meski kupu-kupu menghisap habis madunya
Meski rumput membuatnya menangis dan tertawa bersama

Kamu, Amm Intan. Adalah cerita tentang bunga.
Bermekaran selalu dan selamanya, dalam hati kami, rumput di taman bunga.

 

– Nisa Salsabila

kalau pijakan langkahmu adalah senang atau benci, maka ketahuilah aku takut engkau cintai. Sebaliknya jika engkau bergerak dengan mempertimbangkan baik atau buruk, maka dambaanku adalah engkau mencintaiku..

— EAN

Maka mulai hari ini, izinkan aku bawa rasa ini pulang

Kembali pada hakikatnya yang sederhana

Sesederhana cinta matahari kepada buminya

Sesederhana cinta tanah kepada hujannya

Sesederhana cinta manusia pada nafasnya

Karena aku akan mulai mencintaimu dengan hati yang baru

Yang tak lagi peduli pada keringnya air mata atau pun sakitnya perasaan rindu

Hanya sederhana, dan ringan-ringan saja

Karena perasaan ini terlalu indah untuk kujadikan layaknya hukuman Tuhan

Karena aku hanya akan terhinakan jika kujadikan perasaan ini alasan

Jika memang cara mencintaimu adalah sesederhana bernafas bagiku,

Maka jadilah aku,

Baru akan kau rasakan betapa mudahnya mencintaimu

Ketika semua kenangan hanya berbalas ruang hampa

Ketika berderai air mata hanya mengisi sepi yang tak bernyawa

Tak sadar bahkan setelah sampainya nafasku padamu

Jika kau jadi aku,

Apa yang akan kau lakukan?

Ketika kau menunggu dan ia hanya menepi

Ketika senja matahari tak bersambut terbitnya bulan yang sendiri

Adakah kau bisa menghayati?

Jika kau jadi aku,

Apa kau akan bisa merasakan ini?

mimpi semalam masih bergelayut di pelupuk pagi

bahwa segala dalam duniaku kini

masih saja tentangmu

dan lagi-lagi tentangmu

malam ini panggilan darimu

kemarin malam siluet bayangmu

malam sebelumnya ada suaramu

apakah ini masih duniaku?

bersila di puncak bukit cinta, tetap tak kudengar dentingnya

mengapa bisa rindu pada yang tak pernah ada?

hatiku berkata: apa benar semuanya harus berakhir?

jawabannya menyiksa: kapan pernah kau mulai cinta?

rindu itu hanya curianmu

kembalikanlah, pada Ia yang mencipta rindu

rindumu padanya yang tak berhak kau rindu

curian itu, masihkah menipu?

aku seperti tergeletak di hamparan pasir tak berujung

semakin kugenggam ia, semakin banyak aku kehilangannya

O, rindu

haruskah saat ini kukembalikan kau yang hanya menyiksa?

Kejora, 8.06 pagi

di luar hujan sangat lebat

dreams-quotes-03

*sebentar, bersihin sarang laba-laba dulu. hehe*

setelah lama ga posting, akhirnya malam ini memutuskan harus banget menumpahkan suara hati ke dalam blog ini. harus mulai darimana ya? ah, entahlah.

Berbicara tentang memulai sesuatu, ceritanya entah mengapa tahun ini begitu banyak kisah-kisah yang memulai bab selanjutnya dalam novel klasik bernama roman kehidupan. mulai dari memulai kehidupan baru sebagai seorang sarjana, sebagai seorang istri, bahkan sebagai seorang ibu.

Ah, entah bagaimana perasaanku saat ini ketika menuliskannya. Ada bahagia yang membuncah, namun juga haru yang perlana menyelusup dengan sangat halus hingga memicu kelenjar lacrimalisku mengeluarkan air matanya.

Menyaksikan satu per satu berita bahagia mereka, dan begitu pun aku. 

Oleh karena itu, melalui tulisan ini, izinkan kucurahkan rasaku, yang membuatku selalu tersenyum dalam tangisan setiap merasakannya..

Teruntuk sahabat-sahabatku,

Menjadi manusia memang sangat spesial ya? Tapi karena setiap hari kita bertemu dengan manusia juga, kadang kita tak menyadari betapa spesialnya kita, sebagai seorang ciptaan, sebagai seorang makhluk. Kita bisa berpikir, kita bisa memutuskan. Tak seperti halnya gunung, burung, air di lautan, yang tak bisa memilih kemana dirinya harus berlayar, kemana mereka harus melangkah. Hanya kita yang mampu melakukannya.

Dan dari keistimewaan itu lah, tercipta jalan hidup yang berbeda dari setiap kita. Tak pernah ada yang sama. Aku, kamu, Bapak penjual asongan di stasiun, Pelari maraton di Athena sana, atau bahkan seorang guru di pelosok pedalaman sana. Kita semua hidup dalam rangkaian sekuel konsekuensi dari pilihan-pilihan hidup kita.

Dari pilihan-pilihan hidup yang kita jalani itu, setiap pilihannya akan membuka lembaran baru dari kisah kecil sejarah hidup kita. Mengawali bab baru dari roman seorang manusia. Dan luar biasanya, setiap lembaran baru itu adalah lembaran putih yang tidak sama sekali terpengaruh seberapa pun hitam dan hancurnya bab-bab pendahulunya. A whole brand new.

Maka jadilah setiap akhir yang mungkin kau rasakan, sesungguhnya adalah awal dari kisah perjalananmu di bab yang selanjutnya. Jadilah apa-apa yang kau alami dan kau tuai di bab hidupmu sebelumnya, menjelma menjadi bekal demi menorehkan tulisan yang lebih cantik dan lebih bersih di catatanmu selanjutnya. Demi tak terulangnya lagi kesalahan-kesalahan, demi adanya sebuah harapan akan akhir yang lebih baik.

Oleh karena itu, aku hanya ingin mengucapkan selamat. Selamat untuk kamu, dan juga aku.

Kita akan bersama terus menjalani bab demi bab dalam hidup yang terus menawarkan keajaiban-keajaibannya, dan selamanya saling menguatkan dan menertawakan dalam perjalanan yang tak pernah berjalan mundur ke belakang ini.

Capaian-capaian mimpi kita satu per satu akan terlaksana, pada waktunya. Yakinlah. Bahwa Allah yang Maha Mengetahui, kapan saat yang tepat bagi kita, dimana kebahagiaan akan terasa begitu indah dalam keberkahan dari-Nya. Karena itu tidak ada gunanya kamu iri kepada ia yang mungkin mencapai mimpinya lebih dulu darimu, atau yang capaiannya lebih tinggi dari apa yang kau capai sekarang. Karena percayalah, selama asas kebermanfaatan sebagaimana filosofi mata air yang akan memberikan kehidupan bagi setiap apa yang dilewatinya, maka tak pernah ada celah untuk merasa kecewa pada dirimu. Kau akan selalu memberikan yang terbaik dalam tiap langkah yang sedang kau tapaki, dan alam di sekitarmu akan merasakan kebermanfaatanmu yang akan membuat mereka menengadahkan kepala dan mengucap syukur kepada Rabbnya karena dipertemukan dengan dirimu.

Karena itu teruslah menginspirasi. Dengan setiap fase yang sedang kau jalani. Jadilah mahasiswa terbaik, sarjana terbaik, dokter terbaik, istri terbaik, ibu terbaik, hingga akhirnya kau menjadi hamba yang terbaik karena selalu memberikan kebermanfaatan dari setiap langkah yang sedang kau jalani.

Dan jangan pernah berpikir untuk melakukan segalanya demi dirimu. Karena di sana lah letak rasa kesendirian itu akan muncul. Karena tidak akan pernah ada yang mau merangkulmu saat kau terjatuh, dalam perjuanganmu menyelamatkan egomu sendiri.

Karena itu berjuanglah untuk-Nya. Untuk segala amanah yang Ia titipkan kepadamu. Untuk mengukir sedikit senyuman pada wajah mereka yang menaruh harapan mereka di atas pundakmu. Atau untuk sekadar membuktikan rasa cintamu. Lakukanlah untuk menjadikan dirimu bisa membawa kebaikan yang semakin luas dan terus meluas.

Hingga langit pun akan tersenyum dan berterimakasih kepadamu.

 

Teruntuk teman-teman dan kakak-kakak yang baru saja berwisuda, sahabat-sahabat yang baru saja menikah atau baru saja memiliki adik bayi yang lucu, dan terutama, untuk keluarga PPSDMS angkatan VI yang baru saja memasuki fase baru dalam hidup kita, yaitu menjadi Alumni PPSDMS.

Yakinlah, bahwa jika kau berpikir kehidupan pasca asrama kita akan lebih mudah, maka kau salah. Justru di sinilah perjuangan akan bersama kita mulai. Demi Indonesia yang lebih baik dan bermartabat.

Salam generasi strategis! 🙂

srikandi“kami adalah panah-panah yang tajam, yang siap dilepaskan dari busur…”

Mungkin semua orang –yang mengenalku- tahu bagaimana aku senang menulis tentang hal-hal yang berkesan dalam hidupku. Merekam setiap jejak, mengabadikan setiap episode yang bagiku mengandung pelajaran dan akan kukenang dengan indah suatu hari nanti. Maka malam ini satu episode itu kembali berputar. Satu episode yang akan meninggalkan jejak, dan menggoreskan warna yang baru dalam buku kehidupan.

Sejatinya manusia memang selalu akan memiliki ketakutan dalam menjalani hidupnya. Takut mati, takut miskin, takut sakit, dan ketakutan-ketakutan lainnya yang memang secara manusiawi begitulah kita diciptakan. Namun izinkan kuceritakan satu ketakutan yang kurasakan, yang inginnya dapat kuhapuskan bersama dengan tulisan ini. Satu ketakutan yang bernama perpisahan.

Malam ini, mungkin akan menjadi malam terakhir bagiku, bermalam di satu tempat yang telah sempurna menaungi ragaku selama 22 bulan. 22 bulan hidup di sini, bersama 31 makhluk Tuhan yang biasa manusia sebut sebagai wanita. Namun mereka bukan hanya sekadar wanita dalam kehidupanku. Mereka juga adalah sahabat, saudara, teman seperjuangan, dan semoga, suatu saat nanti, calon tetangga di Surga Allah yang abadi.

Ketakutan itu, entah bagaimana menyusup begitu halusnya, begitu tak terbendungnya. Entah hanya aku kah yang belum pernah merasakan hidup sendiri? Atau memang aku terlalu takut untuk tidak lagi merasakan kebahagiaan dalam indahnya kebersamaan. Atau mungkin aku hanya takut menjadi sebutir buih yang terlupakan? Atau bisa jadi bahkan aku takut mengetahui jika takdir memang menakdirkan kita untuk sama sekali takkan bertemu lagi setelah perpisahan ini? Mungkin hanya Allah yang Maha Tahu yang bisa mendeskripsikan rasa ini.

Tapi di sinilah aku. di atas kasur di kamar tidurku, yang setiap jengkal pojoknya akan kuingat selamanya. Yang setiap kenangan di dalamnya akan menjadi hartaku selamanya. Namun ternyata tak hanya sekadar takut yang kurasakan, melainkan rasa syukur yang membuncah, teriring dengan sejuta untaian terimakasih, karena aku pernah menjadi bagian dari tempat ini. Dan akan selamanya, menjadi bagian dari keluarga ini. Rasa syukurku karena Allah begitu pemurah, memberikanku karunia sebesar keluarga ini.

Entah kau akan sebut ini karunia atau ujian, karena bagaimana pun fragmen kehidupan akan selalu memiliki dua sisi yang berlawanan, bukan? Menjadi karunia ketika kita mengartikan keluarga ini sebagai satu jalan yang Allah berikan untuk menempa kita, mendidik kita, menyempurnakan kita. Memoles keterampilan-keterampilan yang akan kita butuhkan dalam menghadapi kerasnya kehidupan, dan menjadikan kita satu. Namun sebaliknya akan menjadi ujian, ketika memiliki keluarga ini justru menjadikan kita saudara-saudara yang dzalim terhadap hak saudaranya, melupakan segala kebaikan mereka lalu melenggang begitu saja, atau pun mengabaikan mereka yang telah sungguh-sungguh mencintai kita. Sungguh, dalam karunia yang besar juga terdapat ujian yang besar. Karena itu aku takut, takut jika satu hal yang selama ini telah aku –atau kita- anggap sebagai karunia ini, justru akan berbalik menjadi ujian bagi kita. Ujian komitmen, ujian kesabaran, ujian persaudaraan, yang tentunya akan mengikat kita selamanya.

Seandainya aku bocah SMP yang baru lulus ujian nasional, mungkin aku akan mencoret sedikit tembok dalam asrama ini yang akan menjadi bukti aku pernah ada di sini. Tertawakanlah, tapi yang jelas jangan berpikir aku akan sungguh-sungguh melakukannya. Namun itulah yang kini ingin sekali aku lakukan. Ingin sekali memberikan sesuatu untuk kalian semua, sesuatu yang takkan terlupakan meski satu atap takkan lagi menjadi alat pemersatu kita.

Tertawakanlah, bagaimana proses itu pernah begitu berat kita rasakan.

“dek, sesungguhnya manusia tersabar di dunia ini bukan Nabi Ayyub, melainkan suami kita suatu saat nanti.” –Ratri Restu

“kalian tahu kenapa aku mau masuk PPSDMS? Ya karena cuma PPSDMS yang mau nerima santri macam aku. Mana ada asrama lain yang mau?” –Dianty

“kita akan pastikan, suatu saat nanti kita yang akan membuat semua orang iri dengan percakapan-percakapan di dunia maya yang kita lakukan bersama lingkaran kita.” –Ratri Restu, di suatu pagi setelah membaca percakapan beberapa orang di twitter

“ini asrama udah kayak Black Hole deh. Semua barang seolah terhisap menuju ke ketiadaan.” –Siti Nurlaila Indriani

“kak kak, suatu saat kita bikin buku antologi puisi-puisi kita yuk.” –Nisa Salsabila

“kamu tuh Subuh aja masih harus dibangunin. Yang kayak begini bilang udah pengen nikah?” –Ratri Restu

“PPSDMS itu satu-satunya tempat dimana presiden bisa jadi seksi perlengkapan, menteri bisa jadi bahan bully-an, dan ketua lembaga dakwah bisa ketauan suka nyanyi lagu-lagu galau.” –Nisa Salsabila

“di kampus boleh pada jago orasi, jadi ketua sini ketua situ, di asrama, pada nge-warkop semua!” –Nita Wakan

“Tahsin itu, satu-satunya program yang ga bakal libur meski ada perang dunia ketiga!” –Nisa Salsabila

“Sesungguhnya tidur habis subuh hanya akan membuat harimu kian cupu~” –Nisa Salsabila yang dijadikan status di FB oleh Nurul Pratiwiningrum

”mau prestasi seabrek kek, mau kamu menteri kek, mau kamu maju Pimnas kek. itu ga akan mengubah fakta bahwa cintamu bertepuk sebelah tangan.” –Ratri Restuti

“ada saatnya yang kuminta kepada Allah dalam hidupku hanya 1: kesabaran yang tiada batas” –Nisa Salsabila, lagi waras habis kajian bersama Ust. Sholihun

“move on pindah kamar aja susah, apalagi pindah hati.” –Ayunda DJ

“PPSDMS R3 Putri adalah #calonmenantuidaman” –Ayunda DJ

“Ngakak itu, pagi-pagi baca #TheNakulaPost sambil nunggu tahsin dimulai. Banalitas tanpa batas gaya MerapiPost” –Ratri Restu kepada Rajif DA

“malam ini: 20% belajar ilmu kedokteran, 80% belajar ilmu kehidupan. where you won’t find it anywhere else but here.” –Nisa Salsabila, dalam malam diskusi bersama Ratri Restu dan Ruli Aulia

“Dalam kamus kehidupan kami, segala cerita kami akhiri dengan satu kata: ‘rapopo’. Bukankah hidup ini adalah tentang penerimaan?” –Ratri Restu kepada Ruli Aulia

“Kemerdekaan adalah hak setiap manusia, dan penjajahan atas hati harus dihapuskan” -Ratri Restu

“Even just passing a single day in your live, it is an achievement. Honour yourself, kak.” –Ruli Aulia kepada Ratri Restu

“Mungkin mulai hari ini ga akan lagi ada tweet-tweet ga jelas tentang kita di kamar, tapi biar cinta itu membuktikan sendiri kekuatannya.” –Nisa Salsabila, saat harus pisah kamar dengan Ratri Restu dan Siti Mariyam

Playlist Srikandi #6 (baca: lagu-lagu yang sempat menjadi hits selama kami di asrama):

  1. Blackstreet – In A Rush
  2. Bruno Mars – Count On Me
  3. Edcoustic – Sebiru Hari Ini
  4. Edcoustic – Muhasabah Cinta
  5. Inka Christie – Cinta Kita
  6. Iklim – Suci dalam Debu
  7. Arun – Tercipta untuk Bersama
  8. Saras Dewi – Lembayung Bali
  9. Jason Mraz – I Won’t Give Up
  10. Tuhan Maha Romantis

*disclaimer: bagi yang mau menambah quotes atau playlistnya, (barangkali aku yang tidak tahu atau lupa), silakan masukkan di komentar. nanti akan aku edit, In Shaa Allah. 🙂

Pada akhirnya semua kisah pasti memiliki akhir, tapi akhir kisah sesungguhnya hanyalah awal dari kisah berikutnya. Seperti impuls saraf yang akan terus berjalan meski berganti sel. Terimakasih. Terimakasih karena telah menggenapkan hidupku dengan tawa tangis kalian, dengan rangkulan dan pelukan hangat kalian. Terimakasih, atas pembinaan yang tak mengenal waktu, tempat, dan jarak. Terimakasih, atas segala ketulusan dan kebersamaan. Tak hanya bagi kalian, tapi juga bagi seluruh keluarga besarku, PPSDMS angkatan 6: Ksatria UI, Tiara UI, Bandung Boys, Nakula, Heroboyo, dan akang-akang Bogor. Semoga kita akan menjadi Dulur Saklawase, Sauyunan Salawasna, Saudara Selamanya. Sungguh kesempatan mengenal kalian adalah anugerah yang takkan tergantikan oleh materi apa pun.

Dan sebagaimana janjiku, aku akan mengganti segala ketakutanku dengan satu keyakinan:

Meski kita sudah tak lagi tinggal di bawah satu atap, tapi yakinlah, kita selalu memiliki “atap” yang sama untuk kembali pulang. Atap itu bernama: Idealisme Kami.

 

clock-wideBanyak orang yang bertanya kepadaku, apa bisa sepasang manusia hidup romantis hingga tua nanti? saat hidup untuk dirimu sendiri saja memerlukan papahan orang lain, saat kulitmu tak lagi halus, saat rambutmu tak lagi hitam. apa masih ada celah untuk sebuah keromantisan?

karena itu kutuliskan ini kepadamu,

Wahai Aku yang berusia 40.

Selamat Pagi, Nisa Salsabila. ini aku, kamu 20 tahun yang lalu. Sedang apa kamu? mungkin saat ini kau membaca surat  ini di rumah, bersama suamimu, atau sambil memandangi anak-anakmu. atau mungkin kau membacanya sendirian, dalam tangis duka, atau malah justru bersama seorang pasien yang sedang kau pertahankan nyawanya mati-matian di Rumah Sakit? Aku tidak tahu. Yang jelas aku berharap, siapa pun kau saat ini, kau sedang berada dalam kondisi fisik dan ruhiyah terbaikmu, tidak sakit atau pun terkena amnesia, karena kau tahu? aku sangat berharap banyak dari mu. yaa, setidaknya untuk saat ini.

Nisa, pagi ini aku mengikuti sesi terakhir dari Training Pengembangan Diri yang diberikan oleh gurumu, mentormu, sosok teladanmu, Bang Bachtiar Firdaus. Sesi yang menutup serangkaian sesi selama 20 bulan pembinaanmu di Program Pembinaan SDM Strategis ini sedikit banyak memberikanku gambaran tentangmu. Siapa lagi kalau bukan aku, 20 tahun ke depan.

Nisa, kau yang saat ini mungkin sudah lupa dengan apa yang pernah kau lewati. Oleh karena itu, aku menulis ini untuk mengingatkanmu. Untuk memberitahumu. Bahwa kamu pernah bermimpi, dan dalam mimpi itu, kamu adalah seorang pejuang. Pejuang bagi anakmu, suamimu, keluargamu, bangsa dan agamamu.

Nisa, kalau saja kau masih mengingatku, aku adalah seorang aktivis kampus yang selalu lompat ke sana dan ke mari: menghadiri setiap rapat, berbagi setiap pengalaman, menjalani satu amanah ke amanah lainnya dengan penuh semangat optimisme dan perubahan. Beberapa kesalahan kau lakukan: salah menentukan prioritas, manajemen waktu yang buruk, manajemen emosi yang jauh dari sempurna. Namun kau telah melewati itu. Dan kau tahu? saat itu yang terpenting bagimu adalah bagaimana kau bisa belajar sebanyak-banyaknya. Memenuhi semua rasa keingintahuanmu akan dunia, dan kemudian mengikuti kata hati untuk melakukan apa yang menurutmu harus dan mampu kamu lakukan.

Nisa, dalam setiap episode hidupmu, tak pernah ada satu pun episode tanpa air mata. Perjuangan sudah menjadi nafasmu, keringat dan air mata sudah menjadi nadimu. Kamu, yang awalnya memiliki kehidupan yang terlalu sempurna, yang memiliki segala hal yang mungkin harus diperjuangkan oleh orang lain lebih dari pada apa yang pernah kamu lakukan, justru memilih jalan ini. Jalan yang sukar dan penuh liku. Jalan yang kau tahu, selamanya, sampai kau mati, tak akan pernah mudah. Tak akan pernah menjanjikanmu kehidupan yang sempurna dan tanpa risiko. Ya, kamu yang telah memilih untuk menghibahkan dirimu, sepenuhnya untuk bangsa dan negaramu.

Nisa, dengan pilihan itulah hidup pun datang menghampirimu. Dengan segala sukanya, dukanya. Dengan segala cinta dan bencinya. Dengan segala harapan dan kepalsuannya. Dinamika itu datang silih berganti. Namun tahukah kau? Kamu yang saat ini sedang menulis surat ini, selalu mengatakan kepada semua tantangan yang hidup berikan kepadanya, “aku mempunyai Tuhan yang tak pernah tidur.” Jadilah kamu seorang dewasa muda yang selalu percaya. Bahwa semua tempaan, segala keindahan dan keburukan yang datang kepadamu sejatinya adalah anugerah. Anugerah yang akan menjadikanmu seorang manusia yang lebih baik. Entah lebih sabar, lebih bijaksana, lebih bersyukur, atau mungkin, lebih terlatih.

Nisa, mungkin kamu yang sekarang tak akan membayangkan bahwa kamu akan bersuami dia, akan menghabiskan seluruh sisa hidupmu bersama dia. Tapi ketahuilah. Seberapa pun menyesalnya atau bersyukurnya dirimu, aku yakin, kau yang sekarang pasti lebih dewasa dalam menghadapi hidup bersamanya. Karena kau tahu? Dia lah yang sifat-sifatnya telah kau jabarkan dalam doa mu. Ia yang akhlaqnya telah kau pasrahkan dalam sujud-sujud panjangmu. Ia yang kesetiaan dan ketaqwaannya hanya kepada Rabbnya. Bukan kepadamu, kepada kecantikanmu, kepada kepintaranmu, pun kepada apa pun yang ada padamu. Jadi ingatlah. Kau yang dulu mengimpikannya. Kini kau lah yang harus mendampinginya. Sampai maut memisahkanmu dengannya.

Ingat Nisa, saat aku menulis ini, di usiamu yang masih separuh dari usiamu yang sekarang, kamu mungkin pernah bangga akan prestasi-prestasimu. Kau mungkin pernah bangga atas semua capaian dan mimpi yang masih kau perjuangkan. tapi kau harus ingat ini. Bang Bachtiar tadi pagi mengatakan, kau harus sukses mendidik anak-anakmu dulu, baru silakan terjun ke masyarakat yang membutuhkan semua realisasi mimpimu. Jadi hal itu yang saat ini ingin kutanyakan padamu. Bagaimana kabar anak-anakmu sekarang? Apa mereka sudah tumbuh menjadi anak-anak ideologismu? Atau kah mereka tak lebih dari sekadar anak-anak biologismu, yang bahkan tak tahu arti pahitnya perjuangan dan nikmatnya kesabaran?

Nisa, di usiamu saat ini, 40 tahun, seharusnya kau sudah siap untuk total memberikan seluruh pengabdianmu bagi bangsa ini. Seharusnya, anak-anakmu telah mengerti posisi dan peran dari ibu mereka yang tidak akan hanya melulu memanjakan mereka, namun juga akan menjadi sosok ibu bagi peradabannya. Ketahuilah Nisa, mimpi mu bersama rekan-rekanmu di asrama PPSDMS ini sungguh indah:

mewujudkan Indonesia yang lebih baik dan bermartabat.

Ingat itu, Nisa. Kembalikan memorimu tentang hari saat kau menuliskan ini. Saat dimana bagimu dunia tak lebih dari hanya tempatmu untuk menghabiskan diri, tenaga, waktu, harta dan pikiranmu untuk kemaslahatan banyak orang. tanpa berpikir untuk dirimu sendiri. Hanya berlomba mencari tiket surga yang Ia janjikan bagi ummat yang Ia ridhoi..

Nisa, kini saatnya kau menyibukkan dirimu bagi ummat. Kerahkan semua potensimu untuk mewujudkan apa yang dulu pernah kau impikan. Aku tahu, semangatmu saat ini mungkin tak se-muda dulu, saat kau menulis surat ini. Aku tahu, dengan badan yang mungkin sudah tidak bugar lagi, penyakit batu empedu yang mungkin mengancammu, kepikunan, dan segala kekurangan yang tak pernah terbayangkan olehmu sebelumnya, mungkin kau akan memilih untuk tidur saja. Menikmati menyambut suamimu yang pulang setelah bekerja, mengajari anak-anakmu, melihat mereka tumbuh besar dan seterusnya. Tapi ingatlah, kau dulu punya mimpi lebih dari itu! Dan aku ingin kau mengingat itu kembali. Menumbuhkan itu kembali. Hingga tak ada celah bagi semua kekurangan itu untuk menciptakan excuse yang menurutmu membenarkan kepasrahanmu.

Nisa, aku ingin kau tahu. Betapa aku yang saat ini begitu was-was tentang siapa yang saat kau membaca ini menjadi suamimu, ayah bagi anak-anakmu, teman bagi perjuangan beratmu. Betapa aku mendoakan yang terbaiklah yang akan kau dapat, betapa aku berharap ia adalah sesosok malaikat yang tidak hanya menuntutmu untuk menemani harinya, namun juga menjadikanmu seseorang yang melebihi apa yang kamu pikir bisa kamu lakukan. Yang bersamanya kau bisa menata langkahmu, bisa melengkapimu, dan membuatmu jatuh lagi kepadanya, setiap harinya.

Nisa, ingatkah kau? Dulu sekali, saat kau masih SMA, kau pernah bermimpi ia yang akan mengajarkanmu berdansa Waltz, dia yang akan memainkan gitar dan menghiburmu saat kau sedih, ia yang akan memelukmu saat kau hanya merasa ingin untuk menangis. Tapi sekarang, aku tahu yang kau impikan sesungguhnya bukan itu. Kau hanya butuh ia yang mencintaimu dengan tulus. Dengan segala kerendahan hati dan keinginannya untuk mendapatkan ridho Tuhannya. Ia yang akan tetap mencintaimu meski sekarang mungkin perutmu gendut, rambutmu rontok, nafasmu bau, atau kulitmu berkerut. Ia yang tiap pagi akan mendoakan yang terbaik bagimu, ia yang tidak akan pernah mengizinkanmu untuk menangis karenanya. Semoga ia yang kau dapati hari ini menemanimu ya? Aku mendoakan agar kalian selalu bahagia dan romantis hingga saatnya kalian berjodoh lagi di surga Nya yang abadi. Amin. 🙂

Nisa, itu dulu ya surat dariku. Jangan lupa sampaikan salamku untuk suamimu, dan untuk anak-anak yang sudah kuimpikan sejak hari aku menulis ini. Katakan pada suamimu, bahwa dulu kau pernah menulis ini. Atau mungkin kau ingin menyampaikan surat ini untuknya? Terserah padamu.

Ohya, satu lagi. Jika ternyata kamu, Nisa Salsabila yang berusia 40 tahun, sudah tak lagi menghembuskan nafasnya di dunia ini, aku ingin kau tahu, aku harap aku meninggalkan sejarah indah yang akan dunia kenang tentangmu. Dan aku harap, kau yang telah tiada, mendapatkan ampunan atas segala dosamu, dan bisa bertemu dengan semua orang yang kau sayangi di surga Nya.

Terima kasih Nisa Salsabila, maaf aku menyita waktumu untuk membaca surat panjang ini.

Semoga saat kau membaca ini, kau bisa mengatakan kepadaku, “aku tak akan mengecewakanmu, Nisa Salsabila di usia 20 tahun.”

🙂

Senin, 19 Agustus 2013

Matahari terbit di Gili Trawangan, 06.30

DSCN6275

Sunrise at Gili Trawangan

Di sini, di pulau kecil yang kehidupan malamnya sangat gemerlap dengan bule-bule yang menghabiskan malam dengan pesta-pesta di bar sampai dini hari, pagi menjadi begitu sepi dan tenang. Seperti kota mati. Jalan-jalan kecil dengan bar-bar dan resto khas berbagai negara yang semalam kami lewati begitu penuh hingar bingar, kini hanya menyisakan kursi-kursi kosong dengan tulisan “closed”. Pagi itu, kami berjalan menyusuri pantai yang pasirnya sehalus dan seputih bedak bayi. Sambil menikmati matahari terbit yang sempurna, kami sarapan pagi dengan roti tawar dan susu di pinggir pantai. Inilah matahari terbit terakhir yang akan kami saksikan bersama.

Setelah puas menikmati pantai, mencari kerang-kerang yang membentuk huruf-huruf tertentu di sepanjang pantai, mendatangi penangkaran penyu dan melihat penyu-penyu kecil berenang-renang dengan gembira, tiba saatnya untuk meninggalkan pulau. Setelah membersihkan diri –untuk terakhir kalinya, sebelum perjalanan pulang dimulai-, kami pun berlayar meninggalkan pulau, berpisah dengan tapak-tapak jejak kami di Gili Trawangan dan segala keajaibannya. Berpisah juga kami dengan Pak Marwin dan keluarganya, yang saat itu kebetulan juga akan berangkat ke Mataram. Bedanya, Pak Marwin akan menggunakan speedboat pribadi, sementara kami menggunakan perahu sampan biasa.

Begitu tiba di Pelabuhan Bangsal, Lombok, kami naik cidomo (delman, red) dan kemudian disambung dengan hitchhiking lagi. Kali ini tidak tanggung-tanggung, kami naik truk pengangkut kopi, yang membawa kami hingga Mataram. Di atas truk, bersama tumpukan berkarung-karung kopi, kami sangat menikmati perjalanan. Meski panas menyengat, tapi melewati gunung-gunung dengan monyet-monyet kecil di kanan kiri jalan, menjadi hiburan tersendiri. Mungkin akan lain ceritanya jika kami naik mobil biasa atau bus.

Begitu tiba di Mataram, kami masih harus melanjutkan perjalanan ke Pelabuhan Lembar. Cukup sulit mendapatkan tumpangan murah kali ini. Sampai kami akhirnya harus menumpang truk Puso/Fusso (truk besar yang biasa mengangkut galon atau beton) sampai ke terminal Ubung, Bali. Bayaran yang kami berikan tak seberapa, cukup sebanding dengan risiko tiba di Pelabuhan Padang Bai di malam hari dan tak ada mobil tumpangan lagi.

Di sini sekali lagi ada cerita yang tak pernah disangka-sangka. Saat kami ikut Puso tersebut ke rumah supirnya karena supir tersebut ingin mandi dan berganti pakaian dulu sebelum melakukan perjalanan, kami dipertemukan dengan teman-teman dari UGM yang sedang KKN di Lombok Barat, di desa tersebut. Kami pun berkunjung sebentar ke rumah KKN mereka, mengobrol banyak tentang KKN, sambil menunggu sang supir selesai dengan urusannya.

Begitu Bang Saf –nama supirnya- itu kembali, kami langsung meneruskan perjalanan kami. Hingga ke Pelabuhan Lembar, dimana truk dimasukkan ke kapal Ferri dan kami keluar dari truk untuk menikmati suasana kapal.

Di atas dek kapal, kami –yang sadar bahwa ini akan menjadi malam terakhir yang kami lewatkan bersama- memutuskan untuk bermain kartu, yang terbawa dari rumah Mak Haji. Ya, terbawa tanpa sengaja. Kami benar-benar lupa mengembalikannya (maafkan kami Mak Haji). Jadilah kami bermain kartu, sampai tak terasa 4 jam di kapal berlalu begitu saja dan tiba saatnya kami untuk naik truk lagi dan turun dari kapal.

Selasa, 20 Agustus 2013

Terminal Ubung, Truk Puso, 02.00

Kepada semilir angin yang bertiup,

Kepada bintang yang menuntun,

Kepada bulan,

yang entah mengapa kau muncul padahal hari masih senja begini,

Kepada kamu,

yang seperti bulan itu.

Aku ingin ada keutuhan yang tak semu,

Aku ingin pelayaran yang tak kandas

Indah kini tak lagi berarti,

Karena aku miliki kata penggantinya: kita.

Pada suatu senja di Gili Trawangan – 2013

Kami semua tertidur. Kepala Puso saat itu berisi kami berempat, seorang wanita, Bang Saf, dan kondekturnya. Tiba-tiba suara Bang Saf membangunkan kami. Kami harus turun di sini, katanya. Kami pun segera menurunkan barang-barang, dan dengan nyawa yang masih belum terkumpul utuh, kami berpisah.

Bukan kami, lebih tepatnya aku. Perpisahan itu benar-benar menyebalkan karena saat itu jangankan untuk berbicara, untuk menyadari apa yang sedang terjadi saja aku belum bisa. Saat itu Kak Chandra, Kak Bayu, dan Fina turun dari truk Puso, dan saat aku ingin turun juga, Bang Saf melarangku dan berkata bahwa mereka akan naik bus dari sini ke Ketapang, sementara aku akan ikut Bang Saf tetap di truk Puso sampai aku ke bandara esok pagi. Aku pun hanya duduk patuh tanpa bisa berpikir untuk sekadar mengucapkan salam perpisahan. Yang kusaksikan saat itu hanya mata-mata mereka: Kak Chandra, Kak Bayu, dan Fina, yang sangat cemas dan seakan tak rela aku harus tetap di sini berpisah dengan mereka. Tapi tatapan yang hanya selama beberapa detik itu langsung menghilang terbawa oleh bus yang membawa mereka menjauh dariku.

Aku bingung. Panik. Jadi sekarang tinggal aku sendiri di dalam truk ini? Apalagi wanita yang juga menumpang truk Puso bersama kami tadi, juga turun tak jauh dari terminal Ubung.

Tinggallah kami bertiga di dalam truk Puso: aku, Bang Saf, dan kondekturnya. Jam menunjukkan pukul 02.30 saat truk diparkirkan di dekat sebuah gudang yang sepi. Aku diberikan tawaran oleh Bang Saf, mau tidur atau bermain kartu di luar. Aku sempat bingung, tapi aku yang aku pikirkan saat itu hanya jangan sampai tertidur, karena aku tidak akan tahu apa yang terjadi jika aku sampai tertidur. Entah kepada barang-barangku, entah kepada diriku sendiri.

Bayang-bayang mengerikan itu segera kutepis dari pikiran. Aku akan bangun sampai pagi. Begitu tekadku saat itu. Akhirnya aku putuskan untuk bermain kartu bersama abang-abang Puso itu, di luar truk Puso, beralaskan kardus dan diterangi lampu neon remang-remang dari gudang. Aku sempat berpikir, apa yang sedang kulakukan? Bahkan di imajinasi terliarku sekali pun, tak pernah aku bermimpi untuk menjalani malam seperti ini. Sendirian, hanya berteman 2 abang supir truk Puso yang bahkan baru kukenal, dan bermain kartu hingga pagi. Kalau nanti aku punya anak perempuan, rasanya tak mungkin aku biarkan ia melalui malam seperti ini.

Tapi tekadku untuk tetap bangun hingga pagi ternyata harus terpupuskan oleh rasa kelelahan yang amat sangat, dan rasa kantuk itu pun perlahan membuat kepalaku semakin pusing. Hingga tak sanggup lagi aku bermain kartu, dan aku katakan kepada Bang Saf bahwa aku butuk istirahat. Akhirnya, setelah sebelumnya kami menelepon taksi untuk menjemputku esok pagi jam 7, aku pun berangkat masuk lagi ke dalam truk Puso untuk tidur. Nah, perlu diketahui, Bang Saf tidak langsung membiarkanku berangkat ke bandara malam itu, karena menurutnya bandara di jam-jam segini sangat rawan dan banyak orang jahat. Akhirnya Bang Saf pun dengan rela menemaniku hingga pagi, karena sebenarnya malam itu ia bisa saja langsung mengangkut galon –yang memang menjadi tujuannya ke Denpasar- ke gudang dan berangkat pulang. Tapi itu tidak ia lakukan.

Singkat cerita, kami bertiga tidur di dalam truk Puso itu hingga pagi menjelang. Begitu bangun, aku sempat kaget karena ternyata aku dibuatkan “kelambu” di dalam truk Puso itu, sehingga memisahkan tempatku tidur, di belakang, dengan tempat Bang Saf dan kondekturnya tidur, di kursi supir.

Aku terbangun karena telepon dari supir taksi yang sudah menjemputku. Saat itu aku sedang berhalangan memang, sehingga aku baru terbangun jam 7, dan langsung membangunkan Bang Saf yang ternyata masih tidur di depan. Tak berapa lama, aku sudah berada di dalam taksi. Bang Saf membekaliku dengan sebungkus crackers dan sebotol besar air mineral sisa tadi malam. Ah, mereka sangat baik kepadaku. Hanya masih sulit kupercaya, aku bisa menghabiskan malam bersama mereka, yang baru kukenal, dan alhamdulillah Allah masih melindungiku dengan menitipkanku kepada supir-supir baik hati seperti mereka.

Sesampainya aku di bandara, kesepian itu mulai terasa. Kak Chandra, Kak Bayu, dan Fina terakhir ku telepon sudah berhasil mengejar kereta yang akan mengantar mereka dari Banyuwangi hingga ke Jogjakarta.

Aku masih menunggu di kursi tunggu bandara, ketika segala memori tentang perjalanan ini perlahan muncul satu per satu di dalam benakku. Membuatku tersenyum, rindu, dan amat bersyukur. Di bandara itu aku merasakan hadirnya sahabat-sahabat terbaikku. Fina dengan gombalannya yang selalu berhasil membuatku tersenyum, Kak Bayu dengan lesung pipi di senyumnya dan cerita-cerita inspiratifnya, ataupun Kak Chandra yang terkadang aneh berfilosofi hal-hal yang sulit aku pahami tapi selalu membuatku berpikir dan bersyukur karena Allah pertemukan aku dengannya. Ya, benar aku masih dapat merasakan mereka. Masih dapat mendengar tawa, canda, dan gurau mereka. Namun kenyataanya, aku sendiri. Dan kesendirianku di tengah bandara mengantarkanku pada kenangan yang tak terlupakan, pada suatu senja itu…

DSCN6190

senja dan lembayung bali

Bukit Gili Trawangan, 18 Agustus 2013, 17.00

Menatap lembayung di langit Bali,

Dan kusadari betapa berharga kenanganmu

Di kala jiwaku tak terbatas,

Bebas merangkai mengulang waktu

Hingga masih bisa kuraih dirimu

Sosok yang mengisi kehampaan kalbuku

Bilakah diriku berucap maaf, masa yang tlah kuingkari

Dan meninggalkanmu, cinta

Teman yang terhanyut arus waktu, mekar mendewasa

Masih kusimpan suara tawa kita

Kembalilah sahabat lawasku,

Semarakkan keheningan lubuk

Hingga masih bisa kurangkul kalian,

Sosok yang mengaliri cawan hidupku

Bilakah, kita menangis bersama,

Tegar melawan tempaan

Semangatmu itu, jingga

Kak Bayu pernah mengatakan kepadaku, suatu lagu bisa mengantarkan kita pada suatu saat dimana lagu itu diputar di sana dan suasana yang hadir sangat cocok dengan lagu itu. Awalnya aku tak percaya. Awalnya aku mengira itu berlebihan. Bagaimana bisa hanya dengan mendengar satu lagu, kita bisa merasakan apa yang kita rasakan di masa lalu?

Aku tak memercayai kata-kata itu hingga senja di Gili Trawangan ini. Kami berempat menaiki bukit yang melintang di tengah Gili Trawangan, sengaja untuk menikmati matahari terbenam dari atas bukit. Dan saat itu, sore hari dengan matahari terbenam sempurna menjadi hadiah bagi sore terakhir dari perjalanan panjang kami.

Sambil memutar lagu Lembayung Bali, kami menonton teater alam yang sangat indah. Dari tempat kami duduk saat itu, matahari seakan benar-benar berada segaris lurus dengan arah kami menatap, dengan latar Gunung Agung, yang sangat cantik menjulang menggapai langit Bali. Saat itu tak ada dari kami yang berkata, semua asik dalam lamunan masing-masing. Yang kupikirkan saat itu hanya satu, ingin sekali rasanya menghentikan waktu di sini. Di tempat ini, di waktu ini, bersama orang-orang ini. Tapi aku sadar, orang yang berharap menghentikan waktu karena ia terlampau bahagia di satu waktu hanyalah angan-angan orang kerdil yang terlalu pengecut untuk menghadapi dunia. Namun bahkan bayang-bayangku yang kian meninggi pun tahu, hal itu yang saat itu benar-benar kuinginkan, berasal dari hati yang selalu jujur ketika ia bahagia mau pun bersedih.

Karena itu kubiarkan diriku menikmati momen itu, kubiarkan air mataku yang tak kuasa –dan memang tak ingin- kubendung mengalir dengan derasnya. Rasanya bibir ini ingin sekali mengucapkan terimakasih, entah itu kepada siapa. Mungkin kepada Tuhanku, yang telah memberikanku perjalanan yang begitu indah ini. Mungkin kepada kak Bayu, yang sudah mau mengajakku ke sini. Mungkin kepada kak Chandra, yang selalu menjagaku dan menjadikan perjalanan ini selalu bermakna. Atau mungkin kepada Fina, yang selalu memberikan senyuman terindahnya yang menguatkanku selama perjalanan ini. Entahlah. Dan dari segala ucapan terimakasih yang ingin kuucapkan itu, tak ada satu kata pun yang terucapkan. Mungkin karena saat itu aku terlalu takut, takut jika mengucapkan terimakasih akan semakin menyadarkanku bahwa inilah akhir dari perjalanan kami. Bahwa inilah saatnya mengucapkan “sampai bertemu lagi…”.

Hingga akhirnya kunaiki pesawat yang akan mengantarku pulang kembali ke pelukan hangat orangtuaku, kuputuskan untuk membuat cerita ini. Untuk semua tapak-tapak jejak perjalanan kami, yang meski tak semuanya dapat kutuliskan di sini, tapi akan selalu terukir jelas dalam memori.

Andai ada satu cara,

Tuk kembali menatap agung suryamu,

Lembayung Bali…

DSCN5883

See you in next journey

tapakilah bumi Allah yang telah Ia hamparkan untukmu, maka akan kau temukan bahwa alam lah tempatmu belajar dan mencari ilmu kehidupan…

Tulisan ini adalah satu bagian dari kisah Tapak Jejak dari Nusa Tenggara (6 part). Selamat menikmati part-part lainnya. 🙂