Senin, 19 Agustus 2013
Matahari terbit di Gili Trawangan, 06.30
Sunrise at Gili Trawangan
Di sini, di pulau kecil yang kehidupan malamnya sangat gemerlap dengan bule-bule yang menghabiskan malam dengan pesta-pesta di bar sampai dini hari, pagi menjadi begitu sepi dan tenang. Seperti kota mati. Jalan-jalan kecil dengan bar-bar dan resto khas berbagai negara yang semalam kami lewati begitu penuh hingar bingar, kini hanya menyisakan kursi-kursi kosong dengan tulisan “closed”. Pagi itu, kami berjalan menyusuri pantai yang pasirnya sehalus dan seputih bedak bayi. Sambil menikmati matahari terbit yang sempurna, kami sarapan pagi dengan roti tawar dan susu di pinggir pantai. Inilah matahari terbit terakhir yang akan kami saksikan bersama.
Setelah puas menikmati pantai, mencari kerang-kerang yang membentuk huruf-huruf tertentu di sepanjang pantai, mendatangi penangkaran penyu dan melihat penyu-penyu kecil berenang-renang dengan gembira, tiba saatnya untuk meninggalkan pulau. Setelah membersihkan diri –untuk terakhir kalinya, sebelum perjalanan pulang dimulai-, kami pun berlayar meninggalkan pulau, berpisah dengan tapak-tapak jejak kami di Gili Trawangan dan segala keajaibannya. Berpisah juga kami dengan Pak Marwin dan keluarganya, yang saat itu kebetulan juga akan berangkat ke Mataram. Bedanya, Pak Marwin akan menggunakan speedboat pribadi, sementara kami menggunakan perahu sampan biasa.
Begitu tiba di Pelabuhan Bangsal, Lombok, kami naik cidomo (delman, red) dan kemudian disambung dengan hitchhiking lagi. Kali ini tidak tanggung-tanggung, kami naik truk pengangkut kopi, yang membawa kami hingga Mataram. Di atas truk, bersama tumpukan berkarung-karung kopi, kami sangat menikmati perjalanan. Meski panas menyengat, tapi melewati gunung-gunung dengan monyet-monyet kecil di kanan kiri jalan, menjadi hiburan tersendiri. Mungkin akan lain ceritanya jika kami naik mobil biasa atau bus.
Begitu tiba di Mataram, kami masih harus melanjutkan perjalanan ke Pelabuhan Lembar. Cukup sulit mendapatkan tumpangan murah kali ini. Sampai kami akhirnya harus menumpang truk Puso/Fusso (truk besar yang biasa mengangkut galon atau beton) sampai ke terminal Ubung, Bali. Bayaran yang kami berikan tak seberapa, cukup sebanding dengan risiko tiba di Pelabuhan Padang Bai di malam hari dan tak ada mobil tumpangan lagi.
Di sini sekali lagi ada cerita yang tak pernah disangka-sangka. Saat kami ikut Puso tersebut ke rumah supirnya karena supir tersebut ingin mandi dan berganti pakaian dulu sebelum melakukan perjalanan, kami dipertemukan dengan teman-teman dari UGM yang sedang KKN di Lombok Barat, di desa tersebut. Kami pun berkunjung sebentar ke rumah KKN mereka, mengobrol banyak tentang KKN, sambil menunggu sang supir selesai dengan urusannya.
Begitu Bang Saf –nama supirnya- itu kembali, kami langsung meneruskan perjalanan kami. Hingga ke Pelabuhan Lembar, dimana truk dimasukkan ke kapal Ferri dan kami keluar dari truk untuk menikmati suasana kapal.
Di atas dek kapal, kami –yang sadar bahwa ini akan menjadi malam terakhir yang kami lewatkan bersama- memutuskan untuk bermain kartu, yang terbawa dari rumah Mak Haji. Ya, terbawa tanpa sengaja. Kami benar-benar lupa mengembalikannya (maafkan kami Mak Haji). Jadilah kami bermain kartu, sampai tak terasa 4 jam di kapal berlalu begitu saja dan tiba saatnya kami untuk naik truk lagi dan turun dari kapal.
Selasa, 20 Agustus 2013
Terminal Ubung, Truk Puso, 02.00
Kepada semilir angin yang bertiup,
Kepada bintang yang menuntun,
Kepada bulan,
yang entah mengapa kau muncul padahal hari masih senja begini,
Kepada kamu,
yang seperti bulan itu.
Aku ingin ada keutuhan yang tak semu,
Aku ingin pelayaran yang tak kandas
Indah kini tak lagi berarti,
Karena aku miliki kata penggantinya: kita.
Pada suatu senja di Gili Trawangan – 2013
Kami semua tertidur. Kepala Puso saat itu berisi kami berempat, seorang wanita, Bang Saf, dan kondekturnya. Tiba-tiba suara Bang Saf membangunkan kami. Kami harus turun di sini, katanya. Kami pun segera menurunkan barang-barang, dan dengan nyawa yang masih belum terkumpul utuh, kami berpisah.
Bukan kami, lebih tepatnya aku. Perpisahan itu benar-benar menyebalkan karena saat itu jangankan untuk berbicara, untuk menyadari apa yang sedang terjadi saja aku belum bisa. Saat itu Kak Chandra, Kak Bayu, dan Fina turun dari truk Puso, dan saat aku ingin turun juga, Bang Saf melarangku dan berkata bahwa mereka akan naik bus dari sini ke Ketapang, sementara aku akan ikut Bang Saf tetap di truk Puso sampai aku ke bandara esok pagi. Aku pun hanya duduk patuh tanpa bisa berpikir untuk sekadar mengucapkan salam perpisahan. Yang kusaksikan saat itu hanya mata-mata mereka: Kak Chandra, Kak Bayu, dan Fina, yang sangat cemas dan seakan tak rela aku harus tetap di sini berpisah dengan mereka. Tapi tatapan yang hanya selama beberapa detik itu langsung menghilang terbawa oleh bus yang membawa mereka menjauh dariku.
Aku bingung. Panik. Jadi sekarang tinggal aku sendiri di dalam truk ini? Apalagi wanita yang juga menumpang truk Puso bersama kami tadi, juga turun tak jauh dari terminal Ubung.
Tinggallah kami bertiga di dalam truk Puso: aku, Bang Saf, dan kondekturnya. Jam menunjukkan pukul 02.30 saat truk diparkirkan di dekat sebuah gudang yang sepi. Aku diberikan tawaran oleh Bang Saf, mau tidur atau bermain kartu di luar. Aku sempat bingung, tapi aku yang aku pikirkan saat itu hanya jangan sampai tertidur, karena aku tidak akan tahu apa yang terjadi jika aku sampai tertidur. Entah kepada barang-barangku, entah kepada diriku sendiri.
Bayang-bayang mengerikan itu segera kutepis dari pikiran. Aku akan bangun sampai pagi. Begitu tekadku saat itu. Akhirnya aku putuskan untuk bermain kartu bersama abang-abang Puso itu, di luar truk Puso, beralaskan kardus dan diterangi lampu neon remang-remang dari gudang. Aku sempat berpikir, apa yang sedang kulakukan? Bahkan di imajinasi terliarku sekali pun, tak pernah aku bermimpi untuk menjalani malam seperti ini. Sendirian, hanya berteman 2 abang supir truk Puso yang bahkan baru kukenal, dan bermain kartu hingga pagi. Kalau nanti aku punya anak perempuan, rasanya tak mungkin aku biarkan ia melalui malam seperti ini.
Tapi tekadku untuk tetap bangun hingga pagi ternyata harus terpupuskan oleh rasa kelelahan yang amat sangat, dan rasa kantuk itu pun perlahan membuat kepalaku semakin pusing. Hingga tak sanggup lagi aku bermain kartu, dan aku katakan kepada Bang Saf bahwa aku butuk istirahat. Akhirnya, setelah sebelumnya kami menelepon taksi untuk menjemputku esok pagi jam 7, aku pun berangkat masuk lagi ke dalam truk Puso untuk tidur. Nah, perlu diketahui, Bang Saf tidak langsung membiarkanku berangkat ke bandara malam itu, karena menurutnya bandara di jam-jam segini sangat rawan dan banyak orang jahat. Akhirnya Bang Saf pun dengan rela menemaniku hingga pagi, karena sebenarnya malam itu ia bisa saja langsung mengangkut galon –yang memang menjadi tujuannya ke Denpasar- ke gudang dan berangkat pulang. Tapi itu tidak ia lakukan.
Singkat cerita, kami bertiga tidur di dalam truk Puso itu hingga pagi menjelang. Begitu bangun, aku sempat kaget karena ternyata aku dibuatkan “kelambu” di dalam truk Puso itu, sehingga memisahkan tempatku tidur, di belakang, dengan tempat Bang Saf dan kondekturnya tidur, di kursi supir.
Aku terbangun karena telepon dari supir taksi yang sudah menjemputku. Saat itu aku sedang berhalangan memang, sehingga aku baru terbangun jam 7, dan langsung membangunkan Bang Saf yang ternyata masih tidur di depan. Tak berapa lama, aku sudah berada di dalam taksi. Bang Saf membekaliku dengan sebungkus crackers dan sebotol besar air mineral sisa tadi malam. Ah, mereka sangat baik kepadaku. Hanya masih sulit kupercaya, aku bisa menghabiskan malam bersama mereka, yang baru kukenal, dan alhamdulillah Allah masih melindungiku dengan menitipkanku kepada supir-supir baik hati seperti mereka.
Sesampainya aku di bandara, kesepian itu mulai terasa. Kak Chandra, Kak Bayu, dan Fina terakhir ku telepon sudah berhasil mengejar kereta yang akan mengantar mereka dari Banyuwangi hingga ke Jogjakarta.
Aku masih menunggu di kursi tunggu bandara, ketika segala memori tentang perjalanan ini perlahan muncul satu per satu di dalam benakku. Membuatku tersenyum, rindu, dan amat bersyukur. Di bandara itu aku merasakan hadirnya sahabat-sahabat terbaikku. Fina dengan gombalannya yang selalu berhasil membuatku tersenyum, Kak Bayu dengan lesung pipi di senyumnya dan cerita-cerita inspiratifnya, ataupun Kak Chandra yang terkadang aneh berfilosofi hal-hal yang sulit aku pahami tapi selalu membuatku berpikir dan bersyukur karena Allah pertemukan aku dengannya. Ya, benar aku masih dapat merasakan mereka. Masih dapat mendengar tawa, canda, dan gurau mereka. Namun kenyataanya, aku sendiri. Dan kesendirianku di tengah bandara mengantarkanku pada kenangan yang tak terlupakan, pada suatu senja itu…
senja dan lembayung bali
Bukit Gili Trawangan, 18 Agustus 2013, 17.00
Menatap lembayung di langit Bali,
Dan kusadari betapa berharga kenanganmu
Di kala jiwaku tak terbatas,
Bebas merangkai mengulang waktu
Hingga masih bisa kuraih dirimu
Sosok yang mengisi kehampaan kalbuku
Bilakah diriku berucap maaf, masa yang tlah kuingkari
Dan meninggalkanmu, cinta
Teman yang terhanyut arus waktu, mekar mendewasa
Masih kusimpan suara tawa kita
Kembalilah sahabat lawasku,
Semarakkan keheningan lubuk
Hingga masih bisa kurangkul kalian,
Sosok yang mengaliri cawan hidupku
Bilakah, kita menangis bersama,
Tegar melawan tempaan
Semangatmu itu, jingga
Kak Bayu pernah mengatakan kepadaku, suatu lagu bisa mengantarkan kita pada suatu saat dimana lagu itu diputar di sana dan suasana yang hadir sangat cocok dengan lagu itu. Awalnya aku tak percaya. Awalnya aku mengira itu berlebihan. Bagaimana bisa hanya dengan mendengar satu lagu, kita bisa merasakan apa yang kita rasakan di masa lalu?
Aku tak memercayai kata-kata itu hingga senja di Gili Trawangan ini. Kami berempat menaiki bukit yang melintang di tengah Gili Trawangan, sengaja untuk menikmati matahari terbenam dari atas bukit. Dan saat itu, sore hari dengan matahari terbenam sempurna menjadi hadiah bagi sore terakhir dari perjalanan panjang kami.
Sambil memutar lagu Lembayung Bali, kami menonton teater alam yang sangat indah. Dari tempat kami duduk saat itu, matahari seakan benar-benar berada segaris lurus dengan arah kami menatap, dengan latar Gunung Agung, yang sangat cantik menjulang menggapai langit Bali. Saat itu tak ada dari kami yang berkata, semua asik dalam lamunan masing-masing. Yang kupikirkan saat itu hanya satu, ingin sekali rasanya menghentikan waktu di sini. Di tempat ini, di waktu ini, bersama orang-orang ini. Tapi aku sadar, orang yang berharap menghentikan waktu karena ia terlampau bahagia di satu waktu hanyalah angan-angan orang kerdil yang terlalu pengecut untuk menghadapi dunia. Namun bahkan bayang-bayangku yang kian meninggi pun tahu, hal itu yang saat itu benar-benar kuinginkan, berasal dari hati yang selalu jujur ketika ia bahagia mau pun bersedih.
Karena itu kubiarkan diriku menikmati momen itu, kubiarkan air mataku yang tak kuasa –dan memang tak ingin- kubendung mengalir dengan derasnya. Rasanya bibir ini ingin sekali mengucapkan terimakasih, entah itu kepada siapa. Mungkin kepada Tuhanku, yang telah memberikanku perjalanan yang begitu indah ini. Mungkin kepada kak Bayu, yang sudah mau mengajakku ke sini. Mungkin kepada kak Chandra, yang selalu menjagaku dan menjadikan perjalanan ini selalu bermakna. Atau mungkin kepada Fina, yang selalu memberikan senyuman terindahnya yang menguatkanku selama perjalanan ini. Entahlah. Dan dari segala ucapan terimakasih yang ingin kuucapkan itu, tak ada satu kata pun yang terucapkan. Mungkin karena saat itu aku terlalu takut, takut jika mengucapkan terimakasih akan semakin menyadarkanku bahwa inilah akhir dari perjalanan kami. Bahwa inilah saatnya mengucapkan “sampai bertemu lagi…”.
Hingga akhirnya kunaiki pesawat yang akan mengantarku pulang kembali ke pelukan hangat orangtuaku, kuputuskan untuk membuat cerita ini. Untuk semua tapak-tapak jejak perjalanan kami, yang meski tak semuanya dapat kutuliskan di sini, tapi akan selalu terukir jelas dalam memori.
Andai ada satu cara,
Tuk kembali menatap agung suryamu,
Lembayung Bali…
See you in next journey
tapakilah bumi Allah yang telah Ia hamparkan untukmu, maka akan kau temukan bahwa alam lah tempatmu belajar dan mencari ilmu kehidupan…
Tulisan ini adalah satu bagian dari kisah Tapak Jejak dari Nusa Tenggara (6 part). Selamat menikmati part-part lainnya. 🙂